Sabtu, 22 Oktober 2011

EGOISME - Makalah Psikologi

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Beberapa ahli psikologi perkembangan mengatakan, masa paling penting dalam membentuk kepribadian seseorang adalah antara 0-5 tahun. Jadi, tidak dalam kandungan maupun setelah masa kanak-kanaknya telah lewat. Selama masa kanak-kanak itulah dasar-dasar kepribadian ditanamkan. Anak yang dilahirkan dengan sejumlah naluri perlu dikembangkan agar dapat hidup dengan baik dan berguna dalam masyarakatnya. Dengan kasih sayang, perhatian, belaian, bercakap-cakap, dan bermain dengan si kecil, secara perlahan-lahan. Selain itu, anak juga perlu diperkenalkan pada nilai-nilai luhur dan kebiasaan yang baik. Orangtua dan guru perlu melarang hal-hal yang tidak baik, bahkan kalau perlu menghukum jika larangan sudah tidak mempan lagi, sesuai umur anak, dan membimbing anak ke arah yang baik. Anak perlu dilatih untuk menghargai orang lain dan bersikap sopan santun, sambil menerapkan moral yang tinggi di rumah. Seperti jangan asal janji bila tidak bisa memenuhinya, jika kakaknya sedang tidur, ajak anak main tanpa teriak-teriak atau kecilkanlah suara televisi, sambil menyebutkan alasannya (belajar menghargai orang lain dan respek pada kebutuhannya). Jika orangtua terlalu sibuk, malas, terlalu mengikuti kemauan anak, atau saling bertentangan dalam mendidik anak, anak dapat kehilangan arah, jadi cenderung bersikap "semau gue", alias jadi egois atau mau menang sendiri Apakah sikap egois bisa diperbaiki? Jika masih kecil lebih mudah diperbaiki, tetapi, kalau sudah remaja, apalagi dewasa, jauh lebih sukar. Seorang psikolog dan ahli pendidik James Dobson berkata dalam bukunya Dare to Dicipline: "Psikolog yang menghadapi remaja yang tidak mempunyai respek sama sekali terhadap orangtuanya, sebab orangtuanya terlalu memanjakan dia sampai membiarkan anak terus "menang", sampai tidak terkendali lagi, adalah bagai dokter yang berhadapan dengan pasien penderita kanker ganas." Sukar diperbaiki lagi. Untuk itulah dibutuhkan suatu penanganan secara dini untuk mengatasi sifat egois pada anak.
B. Tujuan
Kegiatan bimbingan dan konseling untuk anak ini memiliki dua tujuan utama. Pertama adalah sebagai sarana pembelajaran dalam melakukan bimbingan dan konseling khususnya bagi penulis yang tengah mempelajari mata kuliah Bimbingan Konseling Untuk Anak Usia Dini. Yang kedua, untuk membantu anak yang menjadi sasaran bimbingan, yaitu dengan memberikan treatmen yang sesuai dengan permasalahan yang dialaminya.


BAB II
LANDASAN TEORITIS
A.    Pengertian Anak Egois
Secara alamiah sifat egois timbul pada anak usia 2 tahun karena pada usia tersebut mereka mempunyai karakter egosentris. Mereka melihat segala sesuatu dari sudut pandangnya dan belum mampu melihat dari kaca mata orang lain. Sehingga seringkali jika mereka menginginkan sesuatu hal, harus dipenuhi saat itu juga. Mereka tidak memperdulikan apakah keinginannya merugikan orang lain atau tidak. Mereka juga tidak peduli jika orang lain menangis akibat perbuatannya mengambil secara paksa dari orang lain. Yang penting apa yang dia inginkan dan apa yang dia suka diperolehnya. Bahkan untuk memuluskan keinginannya, kadang dia mengeluarkan senjata ampuh dengan menangis, berteriak bahkan berguling- guling di lantai. Namun sebaliknya, jika dia mempunyai sesuatu ataupun kesenangan, maka dia enggan berbagi. Dia ingin menikmati sendiri barang yang dimilikinya. Bahkan milik orang lain pun kadang diakui sebagai miliknya jika dia menginginkannya. Dia tidak ingin orang lain mengganggu kesenangannya. Anak egois maunya menang sendiri.
1.        Michele Borba, Ed.D., dalam bukunya Don’t Give Me that Attitude!: 24 Selfish, Rude Behaviors and How to Stop Them menjelaskan bahwa anak-anak yang selfish alias egois adalah anak-anak yang tidak senang menjadi bagian dari sekitarnya. Mereka selalu menginginkan segala sesuatu sesuai dengan cara mereka, meletakkan kebutuhan dan urusan mereka di atas yang lainnya, dan jarang sekali mempertimbangkan perasaan orang lain. Itulah sebabnya, mereka berusaha membuat orangtuanya percaya bahwa perasaan mereka lebih penting dibandingkan perasaan dan kebutuhan orang lain. Sudah tentu anak egois ini perlu disadarkan dan diperbaiki sikapnya. Anak perlu diingatkan bahwa di samping dirinya, ada juga anak-anak lain yang sama-sama kita cintai. Ia perlu didorong agar mengembangkan sikap-sikap baik seperti tidak mementingkan diri sendiri, pemurah, dan penuh perhatian.
2.        Menurut Heribertus Gunawan, anak yang egois hanya peduli dengan dirinya sendiri, hanya berfokus pada kesejahteraan dirinya sendiri tanpa peduli orang lain. Anak usia prasekolah umumnya masih egosentris karena dunianya masih terpusat pada dirinya sendiri, karena merasa dirinya dan dunia sekitarnya adalah satu.
3.        Dra. Risa Kolopaking, psikolog dari RSIA Hermina Bekasi menjelaskan bahwa anak balita dikatakan memiliki sikap egois yang tinggi karena setiap kegiatan yang dilakukan masih terpusat pada dirinya sendiri. Sifat individunya masih sangat dominan. Ini terlihat dari cara dia yang selalu mendahulukan dirinya. Begitu juga kalau ingin sesuatu dan tak dituruti, anak akan menangis. Itu yang membuatnya disebut egois. Padahal, anak sendiri sebenarnya masih belum paham, perbuatannya disukai atau tidak oleh orang lain.

B. Jenis-jenis Egoisme
1. Egoisme Psikologis
1.1. Pendapat pokok faham egoisme psikologis:
Egoisme psikologis pada pokoknya berpendapat bahwa kodrat manusia dalam kenyataannya secara psikologis cenderung memilih tindakan yang menguntungkan bagi dirinya sendiri. Menurut faham ini, apa yang disebut sebagai sikap altruis (misalnya, sikap mau mencintai dan berkorban diri demi kepentingan orang lain) hanyalah mitos belaka. Kalau dalam praktek kehidupan sehari-hari nampaknya, hal itu memang hanya nampaknya saja demikian. Sebab apabila orang mau meneliti apa motivasi sesungguhnya yang mendorong dilakukan tindakan itu, akan menjadi nyata bahwa tindakan altruis itu tidak lain hanyalah bentuk terselubung dari cinta diri.
1.2. Argumentasi untuk menolak kemungkinan adanya sikap altruis sungguh-sungguh:
1.2.1. Setiap tindakan yang dilakukan dengan bebas pada dasarnya muncul dari pilihan pelakunya untuk melakukan sesuatu yang paling ia ingini untuk dilakukan. Misalnya seorang yang menyumbangkan uangnya ke proyek sosial pengumpulan dana bagi para korban gempa bumi tidak dapat dikatakan bahwa ia bersikap altruis, sedangkan yang memakainya untuk menonton film bersikap egois. Karena pada keduanya, si pelaku hanyalah melakukan apa yang masing-masing memang paling mereka ingin lakukan. Yang satu justru merasa senang dan bahagia kalau dia dapat menyumbangkan uangnya pada proyek sosial, sedangkan yang lain merasa senang dan bahagia kalau dapat melakasanakan apa yang ia inginkan, dan dalam hal ini yang ia inginkan adalah menonton film. Jadi kedua-duanya sebenarnya mencari apa yang menguntungkan untuk dirinya sendiri.
1.2.2. Suatu tindakan hanya nampaknya saja tidak bersifat egois atau altruis. Kalau motivasi sesungguhnya dapat diketahui, maka akan menjadi nyata bahwa tindakan itu sebenarnya didasari oleh cinta diri. Misalnya orang yang menyumbangkan uangnya ke proyek sosial tadi, setelah melakukan apa yang ingin dia lakukan, ia merasa senang dan puas dan kemudian dapat tidur dengan pulas di waktu malam karena merasa telah menunaikan tugasnya dengan baik. Sedangkan kalau ia tidak menyumbangkan uangnya pada proyek sosial, maka hatinuraninya terus merasa terganggu. Jadi dalam melakukan pemberian dana itu sebenarnya ia mempunyai pamrih pribadi.
1.2.3. Untuk menjelaskan pendapat di atas, Thomas Hobbes (1588-1679) dan kemudian dikembangkan oleh Moritz Schlick (1881-1936) mengajukan pendapat bahwa untuk menilai suatu tindakan, orang perlu menemukan motivasi sesungguhnya dari tindakan tersebut, dan untuk ini orang perlu tidak hanya berhenti pada penafsiran yang dangkal. Menyebut suatu tindakan sebagai ungkapan sikap altruis menurut dia merupakan suatu penafsiran yang terlalu dangkal terhadap kejadian yang sesungguhnya.Kalau orang mau mengakui kenyataan, motivasi yang sesungguhnya selalu mengandung unsur cinta diri. Sebagai contoh misalnya apa yang disebut cintakasih. Motivasi yang sesungguhnya di balik tindakan menolong orang lain adalah mau menunjukkan bahwa dirinya lebih baik dari yang lain, lebih mampu, lebih unggul dari yang ditolong. Dalam tindakan berbelaskasih, alasan yang sebenarnya mengapa kita mempunyai rasa belaskasih terhadap sesama manusia yang menderita adalah karena kita sendiri berharap agar kalau kita berada dalam situsai macam itu orang lain pun berbelaskasih atau mau menolong kita. Pada orang yang berbelaskasih ada kekhawatiran jangan-jangan penderitaan atau kemalangan yang sama nanti suatu ketika juga menimpa dirinya.
1.3. Tanggapan kritis:
Seperti pernah secara cukup jeli dikemukakan oleh James Rachels, argumentasi yang mendasari faham egoisme psikologis sepintas nampak sulit dibantah, namun argumentasinya sebenarnya muncul karena beberapa kerancuan pengertian.Kalau kerancuan tersebut dapat diurai, menjadi jelas bahwa argumentasi mereka yang menganut egoisme psikologis tidak dapat dipertahankan.Sekurang-kurangnya terkandung tiga jenis kerancuan pengertian dalam argumentasi yang dikemukakan oleh para penganut dan penganjur egoisme psikologis.Kerancuan yang pertama adalah kerancuan pengertian antara egoisme dalam arti mendahulukan kepentingan diri sendiri (selfishness) dan egoisme dalam arti berguna untuk diri sendiri (self-interest).Keduanya tidak sama. Kalau saya mematuhi hukum yang berlaku atau bekerja keras di kantor, ini tidak dapat dikatakan bahwa saya egois dalam arti hanya mendahulukan kepentingan diri saya sendiri.Perbuatan itu memang pada dasarnya berguna (atau mungkin lebih tepat bernilai) untuk diri saya sendiri.Arti yang kedua ini sebenarnya tidak tepat untuk disebut egois. Dalam pengertian egois sebenarnya selalu terkandung penilaian negatif bahwa si pelaku tidak mempedulikan kepentingan orang lain dan hanya mementingkan dirinya sendiri melulu.
Kerancuan yang kedua adalah kerancuan antara pengertian perilaku yang mengejar kepentingan diri (self-interested behavior) dan perilaku yang disukai, karena memberi nikmat (the pursuit of pleasure).Dalam kehidupan sehari-hari banyak hal seringkali kita lakukan memang karena kita menyukainya.Tetapi kenyataan bahwa kita melakukan suatu perbuatan karena kita menyukainya, atau bahwa perbuatan itu membawa kenikmatan tersendiri bagi kita, tidak dengan sendirinya dapat dikatakan bahwa perbuatan kita itu muncul berdasarkan motif egoisme, dalam arti hanya mengejar kepentingan diri sendiri.Kalau ada orangyang suka menghisap rokok kretek dalam-dalam setelah makan siang, karena hal itu terasa nikmat untuknya, kita tidak dapat mengatakan bahwa perbuatan orang itu dengan sendirinya bermotifkan egoisme.Baru kalau dalam menghisap rokok tersebut ia sama sekali tidak peduli akan keluhan tetangganya yang sedang sakit flu, maka perbuatan itu dapat dikatakan sebagai perbuatan yang egois.
Kerancuan yang ketiga adalah kerancuan pengertian bahwa suatu perhatian akan kepentingan diri sendiri selalu tidak dapat diselaraskan dengan kepentingan sejati dari orang lain. Karena sudah jelas bahwa setiap orang (atau hampir setiap orang) selalu memperhatikan apa yang menjadi kepentingannya, para penganut egoisme psikologis menarik kesimpulan bahwa setiap orang itu egois dan tidak pernah secara sungguh-sungguh memperhatikan kepentingan orang lain.Anggapan ini tentu saja keliru. Pengejaran kepentingan diri sendiri tidak dengan sendirinya bertabrakan dengan kepentingan orang lain. Memang tidak jarang terjadi bahwa timbul tabrakan antara kepentingan diri kita sendiri dengan kepentingan orang lain. Tetapi hal ini tidak selalu terjadi, dan kalau itu terjadi, tidak dengan sendirinya pula bahwa kita mendahulukan kepentingan diri kita sendiri seraya mengorbankan kepentingan orang lain. Kenyataan bahwa ada orang yang secara tulus berkorban untuk orang lain, seperti seorang ibu bagi anaknya, seorang gadis bagi pemuda idamannya, dsb., membuktikan bahwa dalam berbuat, orang pada dasarnya secara psikologis tidak selalu didorong oleh egoisme.
Dalam usaha untuk menemukan faktor pokok yang menentukan tindakan manusia, para penganut egoisme psikologis melupakan bahwa motivasi tindakan manusia itu dapat bersifat kompleks.Menyatakan bahwa semua tindakan manusia pada dasarnya didorong oleh motivasi egois merupakan suatu penyederhanaan yang mengabaikan kompleksitas tersebut.Pernyataan yang bersifat reduksionistik (terlalu menyederhanakan) itu juga mengungkapkan sikap yang terlalu sinis terhadap perbuatan baik orang. Dengan alasan menekankan kejujuran untuk mengakui apa yang sesungguh-nyamenjadi motivasi seseorang untuk bertindak, lalu secara sinis terlalu cepat curiga akan maksud baik orang lain.
2. Egoisme Etis
2.1. Pendapat pokok faham egoisme etis:
Egoisme etis adalah suatu faham etika normatif yang menyatakan bahwa setiap orang wajib memilih tindakan yang paling menguntungkan bagi dirinya sendiri. Dengan kata lain, menurut faham ini, tindakan yang baik dan dengan demikian wajib diambil adalah tindakan yang menguntungkan bagi diri sendiri. Satu-satunya kewajiban manusia adalah mengusahakan agar kepentingannya sendiri dapat terjamin. Ini tidak berarti bahwa kepentingan orang lain harus senantiasa diabaikan. Karena, bisa jadi demi pencapaian hasil yang paling menguntungkan untuk diri sendiri, orang justru perlu mengindahkan kepentingan orang lain. Namun dalam hal ini kenyataan bahwa tindakan itu membawa keuntungan atau kebaikan untuk orang lain bukanlah hal yang membuat tindakan tersebut benar. Yang membuat tindakan itu benar adalah fakta bahwa tindakan itu menunjang usaha untuk memperoleh apa yang paling menguntungkan bagi dirinya.Faham ini juga tidak bermaksud menganjurkan untuk mencari nikmat pribadi sepuas-puasnya, seperti halnya diajarkan oleh faham Hedonisme. Justru dalam banyak hal faham Egoisme Etis melarang pencarian nikmat pribadi, karena hal itu dalam jangka panjang justru tidak menguntungkan. Yang dianjurkan oleh Egoisme Etis adalah agar setiap orang melakukan apa yang sesungguhnya dalam jangka panjang akan menguntungkan untuk dirinya (“A person ought to do what really is to his or her own best advantage, over the long run.”) Egoisme Etis memang menganjurkan “selfishness” tetapi bukan “foolishness”.
2.2. Argumen-argumen untuk mendukung Egoisme Etis:
Argumen pertama yang biasanya dipakai untuk mendukung Egoisme Etis adalah kenyataan bahwa kalau kita mau mengusahakan hal-hal yang menguntungkan semua pihak, masing-masing orang justru wajib memperhatikan kepentingannya sendiri. Karena yang paling tahu tentang apa yang paling dibutuhkan oleh seseorang adalah orang itu sendiri, dan bukan orang lain. Kalau kita cenderung mau mengurusi orang lain, dapat terjadi bahwa kita justru tidak menguntungkan semua pihak.
Seperti dinyatakan oleh Robert G. Olson dalam bukunya The Morality of Self-Interest (1968), “The individual is most likely to contribute to social betterment by rationally pursuing his own best long-range interests” (“Masing-masing individu akan paling menyumbang pada perbaikan sosial [kalau masing-masing individu] dengan secara rasional mengejar apa yang dalam jangka panjang menjadi kepentingannya sendiri yang paling baik”). Masing-masing orang sendiri lah yang paling tahu akan apa yang diinginkan dan dibutuhkannya. Kita tidak pernah tahu persis apa yang diinginkan dan dibutuhkan orang lain. Kalau kita mencampuri urusan orang lain, campurtangan ini justru malah hanya merusak kesejahteraannya, karena bersifat ofensif bagi kebebasannya untuk menentukan diri. Mencampuri urusan orang lain dapat melanggar prinsip “privacy” seseorang. Menjadikan orang lain sebagai objek atau sasaran perbuatan karitatif kita, sama saja dengan merendahkan martabatnya. Dengan memperhatikan kepentingan orang lain, kita dapat menciptakan situasi ketergantungan dan kurang menghargai kemampuan serta harga diri orang yang ditolong.
Argumen tersebut kalau mau dirumuskan secara singkat akan berbunyi sebagai berikut:
(1) Setiap pribadi manusia hanya memiliki satu hidup untuk dihayati. Kalau kita memandang setiap individu bernilai sungguh-sungguh, atau kalau setiap individu secara moral bernilai dalam dirinya sendiri, maka kita mesti menyetujui bahwa hidup kita yang satu ini amatlah penting untuk dipertahankan dan dikembangkan sepenuhnya.
(2) Etika Altruis memandang hidup masing-masing individu sebagai suatu yang bila perlu mesti direlakan untuk dikorbankan bagi orang lain.
(3) Maka Etika Altruis tidak menganggap serius nilai hidup masing-masing individu manusia.
(4) Sedangkan, Egoisme Etis, yang memperkenankan setiap pribadi manusia memandang hidupnya sendiri sebagai bernilai paling tinggi, sungguh mengambil serius nilai hidup masing -masing individu manusia; bahkan Egoisme Etis dapat dika-takan merupakan satu-satunya teori moral yang melakukan hal itu.
(5) Maka Egoisme Etis merupakan teori moral yang wajib diterima.
Argumen yang ketiga yang biasanya dipakai untuk mendukung teori moral Egoisme Etis adalah kemampuannya untuk secara jelas dan sederhana memberikan satu prinsip dasar untuk menjelas-kan macam-macam aturan dan pedoman perilaku manusia sehari-hari. Di balik macam-macam aturan yang mengikat manusia dalam hidupnya sehari-hari, seperti: tidak boleh menyakiti orang lain, wajib mengatakan yang benar, wajib menepati janji, dsb., menurut Egoisme Etis, ada satu prinsip dasar, yakni prinsip mengejar kepentingan diri sendiri. Aturan-aturan tersebut dapat diterangkan berdasarkan prinsip mengejar kepentingan diri sendiri. Mengapa kita tidak boleh menyakiti orang lain, misalnya, dapat dijelaskan demikian: apabila kita biasa menyakiti orang lain, maka orang lain pun tidak akan segan-segan atau ragu-ragu untuk menyakiti kita. Kalau kita menyakiti orang lain, orang itu akan melawan dan membalas. Dapat terjadi pula bahwa karena kita menyakiti orang lain, kita akan dihukum dan dimasukkan penjara karenanya. Dengan menyakiti orang lain, akhirnya kita sendiri akan rugi. Maka pada dasarnya merupakan keuntungan bagi diri kita sendiri apabila kita tidak menyakiti orang lain. Logika pemikiran yang sama dapat dipakai untuk menjelaskan aturan-aturan lain yang wajib kita patuhi setiap hari.

2.3. Tanggapan Kritis:
Kalau kita perhatikan argumen pertama di atas secara kritis, maka akan nampak bahwa argumen tersebut sebenarnya tidak mendukung prinsip egoisme etis. Mengapa demikian? Alasan pokok yang diberikan dalam argumen pertama untuk mendukung Egoisme Etis adalah bahwa kalau setiap orang mengejar apa yang dalam jangka panjang menjadi kepentingannya sendiri yang paling baik, maka perbaikan sosial atau terpenuhinya kepentingan semua pihak justru akan terjamin, karena masing-masing individu lah yang paling tahu apa yang dia butuhkan. Kalau Egoisme Etis sungguh konsisten dengan prinsipnya, maka ia tidak perlu peduli akan perbaikan sosial atau keterjaminan bahwa kepentingan semua pihak akan lebih terpenuhi. Kenyataan bahwa dalam argumen pertama hal tersebut dipedulikan dan bahkan dijadikan alasan untuk bersikap egoistik, maka walaupun Egoisme Etis menganjurkan untuk berperilaku egoistik, prinsip dasariah yang melandasinya justru tidak egoistik.
Dalam argumentasi kedua, Egoisme Etis nampaknya keluar sebagai teori moral yang lebih baik atau lebih masuk akal daripada Etika Altruis. Akan tetapi hal itu terjadi karena faham Etika Altruis digambarkan sedemikian ekstrim, sehingga tidak sesuai dengan apa yang sesungguhnya diajarkan olehnya. Dalam argumen tersebut diberi kesan bahwa Etika Altruis itu mengajarkan bahwa kepentingan diri sendiri itu sama sekali tidak bernilai dibandingkan dengan kepentingan orang lain, sehingga setiap tuntutan untuk mengorbannkannya demi kepentingan orang lain wajib dipenuhi.
Akan tetapi gambaran tentang Etika Altruis, sebagaimana diberikan oleh Ayn Rand sebagai penganjur Egoisme Etis, itu tidak fair, karena yang diajarkan oleh Etika Altruis tidak seekstrim dalam gambaran tersebut. Yang diajarkan oleh Etika Altruis adalah bahwa meskipun hidup masing-masing individu di dunia ini merupakan suatu yang amat bernilai, namun bukanlah satu-satunya nilai dan juga bukan nilai yang mutlak. Usaha mencapai kebagiaan hidup sejati manusia tidak lepas dari perlunya bersikap baik terhadap orang lain dan kerelaan untuk berkorban bagi manusia lain. Kalau hal tersebut sasamasekali diabaikan, karena nilai hidup masing-masing individu di dunia ini dimutlakkan, maka kebahagiaan sejati manusia justru tidak akan tercapai. Demikianlah, dengan terlalu memutlakkan nilai hidup masing-masing individu manusia, Egoisme Etis justru akan menggagalkan usahanya sendiri untuk mengejar apa yang paling menunjang bagi terpenuhinya kepentingan diri yang sejati.
Berkenaan dengan argumentasi ketiga, argumen ini pun tidak berhasil menegakkan Egoisme Etis sebagai teori moral normatif yang dapat dan perlu diterima. Argumen tersebut hanya mampu menunjukkan bahwa sebagai pedoman umum dapat dikatakan bahwa memang lebih menguntungkan bagi diri sendiri untuk melaksanakan kewajiban dan tidak melanggar larangan sebagaimana diatur dalam pedoman perilaku sehari-hari. Berusaha untuk tidak menyakiti orang lain memang pada umumnya lebih menguntungkan untuk diri sendiri. Tetapi hal ini tidak selalu demikian. Kadang-kadang dalam praktek orang lebih beruntung kalau dapat menyakiti orang lain terlebih dulu daripada disakiti olehnya. Maka kewajiban untuk tidak menyakiti orang lain dan kewajiban-kewajiban moral yang lain tidak dapat diturunkan dari prinsip egoistik untuk mencari apa yang paling menguntungkan untuk diri sendiri.
Selain itu, seandainya benar bahwa dengan mendermakan uangnya kepada orang miskin pada akhirnya diri sendirilah yang diuntungkan, kiranya tidak dapat ditarik kesimpulan bahwa keuntungan diri sendirilah yang menjadi motif pokok tindakan mendermakan uang kepada orang miskin. Yang seringkali terjadi adalah bahwa motif pokok tindakan tersebut memang kepentingan orang yang ditolong, sedangkan untuk diri sendiri itu hanyalah sekunder atau merupakan akibat samping dari tindakan mau menolong orang lain tersebut. Seandainya betul bahwa semua tindakan altruistik itu bermotifkan kepentingan egoistik, maka hidup sosial manusia akan menjadi lebih sulit, karena dipenuhi rasa kecurigaan. Setiap perbuatan baik akan selalu ditanggapi dengan sikap sinis, karena toh bukan kepentingan orang yang ditolong yang menjadi fokus perhatian, tetapi diri sendiri. Orang yang mendapatkan pertolongan sulit untuk berterima kasih, karena melulu hanya dijadikan sarana saja bagi pemenuhan kepentingan diri si penolong saja.
Egoisme Etis biasanya mendasarkan diri pada apa yang dikemukakan oleh Egoisme Psikologis. Tetapi kita sudah lihat di atas, bahwa pendapat pokok Egoisme Psikologis tidak dapat dipertahankan. Sebagaimana Egoisme Psikologis, Egoisme Etis meredusir kompleksitas motivasi tindakan manusia pada motif mencari apa yang menguntungkan bagi diri sendiri. Tetapi ini tidak sesuai dengan kenyataan. Bahwasanya Egoisme Etis dapat menjelaskan kewajiban moral atas dasar prinsip kepentingan diri atau motif mencari apa yang menguntungkan bagi diri sendiri, belumlah merupakan bukti bahwa kepentingan diri merupakan satu-satunya dasar bagi kewajiban moral. Hanya kalau dapat dibuktikan bahwa kepentingan diri merupakan satu-satunya dasar bagi kewajiban moral, maka Egoisme Etis sebagai suatu teori moral normatif tidak dapat diterima.
C. Ciri-ciri Perilaku Egois
Pada anak usia prasekolah perilaku egois bila sekali-sekali muncul masih dapat dikatakan wajar, tetapi bila dilakukan dalam frekuensi dan intensitas yang tinggi digolongkan pada perilaku bermasalah. Ciri-ciri perilaku egois yang melebihi batas normal/bermasalah diantaranya adalah sebagai berikut :
• Anak kurang mampu mengontrol diri/emosi, cenderung agresif;
• Harga diri dan empati kurang berkembang;
• Memiliki sikap penuntut;
• Kualitas hubungan sosialnya buruk, sulit menjalin relasi dengan anak lain;
• Memandang orang lain secara negatif;
• Sering merebut mainan / barang yang dipegang oleh temannya;
• Enggan untuk berbagi kesenangan, mainan, atau makanan dengan orang lain;
• Suka merajuk atau menangis / merengek-rengek jika keinginannya tidak segera dituruti.
D. Penyebab Sifat Egois Pada Anak
Penyebab perilaku egois biasanya karena perlakuan dan pola asuh orang tua/pengasuh yang tidak tepat (misalnya kasih sayang orang tua yang berlebihan atau kurang, sikap orang tua yang permisif, tidak menanamkan disiplin, moral dan tanggung jawab yang diperlukan anak sebagai pengarah dalam berperilaku). Sifat egois bukanlah sifat bawaan atau keturunan, tapi masalah pembiasaan. Perkembangan sosial seorang anak dipengaruhi oleh lingkungannya, baik dari orang tua maupun orang-orang di sekitarnya. Berikut beberapa faktor mengapa anak bersifat egois :
• Perhatian yang berlebihan.
Pemujaan kepada anak secara berlebihan membuat orang tua memanjakan anak dengan cara memenuhi segala keinginannya. Sehingga anak terbiasa mendapatkan apapun tanpa usaha dan perjuangan terlebih dahulu. Anak juga tidak terbiasa mengembangkan rasa toleransi dan sabar kepada orang lain. Anak tidak diajari untuk menunda kepuasan atau mendapatkan sesuatu sebagai hadiah dari usaha yang keras. Kemudahan mendapatkan sesuatu tanpa perlu usaha membuat anak mengambil kesimpulan bahwa ia bisa mendapatkan apapun yang dia inginkan dengan mudah saat itu juga.
• Perlindungan yang berlebihan.
Dalam menunjukkan rasa sayang kepada anak, seringkali orang tua memberi perlindungan yang berlebih dari berbagai macam kegagalan dan kesalahan. Rasa kekhawatiran yang mendalam juga membuat orangtua menghindarkan anak mereka dari pekerjaan-pekerjaan yang sebenarnya bisa dilakukan anak seusianya. Karena khawatir baju anak kotor, orang tua menyuruh pembantu untuk selalu menyuapi makan. Karena khawatir diganggu teman di taman, orang tua menyuruh pengasuh untuk selalu berada di dekat sang anak dan siap melayani. Maka anak akan terbiasa menyuruh-nyuruh orang seperti yang telah dicontohkan orang tuanya, bahkan untuk pekerjaan-pekerjaan sederhana yang sebenarnya bisa dia lakukan.
• Anak yang mempunyai kebutuhan-kebutuhan khusus (misalnya anak yang sering sakit-sakitan), sering kali mendapatkan perhatian khusus. Jika tidak hati-hati anak seperti ini bisa tumbuh menjadi anak yang egois, karena dia menganggap semua harus dipusatkan pada dia. Itulah sebabnya salah satu ciri juga anak-anak yang egois adalah dia menganggap diri sebagai kasus khusus, artinya keinginannya harus didahulukan sebab dia merupakan kasus perkecualian.
E. Karakteristik yang Dimiliki Orang Egois
  1. Keras kepala
Orang yang egois biasanya mau menang sendiri dan tidak mau mendengarkan pendapat orang lain. Karena bagi dia, hanya pendapatnya yang paling benar dan harus diikuti sama orang lain. Terkadang saking keras kepalanya, meskipun sudah terbukti pendapatnya salah, orang egoisn tetap tidak mau mengakuinya.
  1. Mudah Emosi
Orang yang punya sifat egois mudah sekali naik darah, terutama saat keinginannya tidak bisa tercapai. Bahkan orang egois bisa marah besar hanya gara-gara hal sepele seperti tidak diperhatikan saat dia lagi bicara atau melakukan sesuatu.
  1. Pemberontak
Umumnya orang yang memiliki sifat egois itu susah sekali diatur sama orang lain. Dan saat punya kemauan yang besar, dia tidak akan segan-segan untuk melanggar semua peraturan yang ada demi mencapai tujuannya.
  1. Haus Perhatian
Sebagai orang yang over self centered, orang egois pasti ingin selalu diperhatikan sama otrang lain. Dan dia tidak cukup puas dengan perhatian yang biasa-biasa saja, dia ingin setiap saat semua orang hanya fokus melihat ke arah dirinya saja.Intinya orang yang egois adalah orang yang selalu mementingkan dirinya sendiri, selalu ingin dinomersatukan dan menganggap dirinya yang paling berharga. Tipe orang yang kelihatannya tidak peduli sama perasaan orang lain, asalkan keinginanya bisa terpenuhi. Makanya tudak heran kalau terkadang orang egois terlihat seperti kurang ”manusiawi” dalam memperlakukan orang lain.

Demikian sekilas tentang Egoisme-Makalah Psikologi. Semoga bermanfaat.


Oleh : Dian Pranata 


Tidak ada komentar:

Posting Komentar