BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Beberapa
ahli psikologi perkembangan mengatakan, masa paling penting dalam membentuk
kepribadian seseorang adalah antara 0-5 tahun. Jadi, tidak dalam kandungan
maupun setelah masa kanak-kanaknya telah lewat. Selama masa kanak-kanak itulah
dasar-dasar kepribadian ditanamkan. Anak yang dilahirkan dengan sejumlah naluri
perlu dikembangkan agar dapat hidup dengan baik dan berguna dalam
masyarakatnya. Dengan kasih sayang, perhatian, belaian, bercakap-cakap, dan
bermain dengan si kecil, secara perlahan-lahan. Selain itu, anak juga perlu
diperkenalkan pada nilai-nilai luhur dan kebiasaan yang baik. Orangtua dan guru
perlu melarang hal-hal yang tidak baik, bahkan kalau perlu menghukum jika
larangan sudah tidak mempan lagi, sesuai umur anak, dan membimbing anak ke arah
yang baik. Anak perlu dilatih untuk menghargai orang lain dan bersikap sopan
santun, sambil menerapkan moral yang tinggi di rumah. Seperti jangan asal janji
bila tidak bisa memenuhinya, jika kakaknya sedang tidur, ajak anak main tanpa
teriak-teriak atau kecilkanlah suara televisi, sambil menyebutkan alasannya
(belajar menghargai orang lain dan respek pada kebutuhannya). Jika orangtua
terlalu sibuk, malas, terlalu mengikuti kemauan anak, atau saling bertentangan
dalam mendidik anak, anak dapat kehilangan arah, jadi cenderung bersikap
"semau gue", alias jadi egois atau mau menang sendiri Apakah sikap
egois bisa diperbaiki? Jika masih kecil lebih mudah diperbaiki, tetapi, kalau
sudah remaja, apalagi dewasa, jauh lebih sukar. Seorang psikolog dan ahli
pendidik James Dobson berkata dalam bukunya Dare to Dicipline: "Psikolog
yang menghadapi remaja yang tidak mempunyai respek sama sekali terhadap
orangtuanya, sebab orangtuanya terlalu memanjakan dia sampai membiarkan anak terus
"menang", sampai tidak terkendali lagi, adalah bagai dokter yang
berhadapan dengan pasien penderita kanker ganas." Sukar diperbaiki lagi.
Untuk itulah dibutuhkan suatu penanganan secara dini untuk mengatasi sifat
egois pada anak.
B. Tujuan
Kegiatan
bimbingan dan konseling untuk anak ini memiliki dua tujuan utama. Pertama
adalah sebagai sarana pembelajaran dalam melakukan bimbingan dan konseling
khususnya bagi penulis yang tengah mempelajari mata kuliah Bimbingan Konseling
Untuk Anak Usia Dini. Yang kedua, untuk membantu anak yang menjadi sasaran
bimbingan, yaitu dengan memberikan treatmen yang sesuai dengan permasalahan
yang dialaminya.
BAB II
LANDASAN TEORITIS
A.
Pengertian
Anak Egois
Secara
alamiah sifat egois timbul pada anak usia 2 tahun karena pada usia tersebut
mereka mempunyai karakter egosentris. Mereka melihat segala sesuatu dari sudut
pandangnya dan belum mampu melihat dari kaca mata orang lain. Sehingga
seringkali jika mereka menginginkan sesuatu hal, harus dipenuhi saat itu juga.
Mereka tidak memperdulikan apakah keinginannya merugikan orang lain atau tidak.
Mereka juga tidak peduli jika orang lain menangis akibat perbuatannya mengambil
secara paksa dari orang lain. Yang penting apa yang dia inginkan dan apa yang
dia suka diperolehnya. Bahkan untuk memuluskan keinginannya, kadang dia
mengeluarkan senjata ampuh dengan menangis, berteriak bahkan berguling- guling
di lantai. Namun sebaliknya, jika dia mempunyai sesuatu ataupun kesenangan,
maka dia enggan berbagi. Dia ingin menikmati sendiri barang yang dimilikinya.
Bahkan milik orang lain pun kadang diakui sebagai miliknya jika dia
menginginkannya. Dia tidak ingin orang lain mengganggu kesenangannya. Anak
egois maunya menang sendiri.
1.
Michele
Borba, Ed.D., dalam bukunya Don’t Give Me that Attitude!:
24 Selfish, Rude Behaviors and How to Stop Them menjelaskan bahwa anak-anak yang
selfish alias egois adalah anak-anak yang tidak senang menjadi bagian dari
sekitarnya. Mereka selalu menginginkan segala sesuatu sesuai dengan cara
mereka, meletakkan kebutuhan dan urusan mereka di atas yang lainnya, dan jarang
sekali mempertimbangkan perasaan orang lain. Itulah sebabnya, mereka berusaha
membuat orangtuanya percaya bahwa perasaan mereka lebih penting dibandingkan
perasaan dan kebutuhan orang lain. Sudah tentu anak egois ini perlu disadarkan
dan diperbaiki sikapnya. Anak perlu diingatkan bahwa di samping dirinya, ada
juga anak-anak lain yang sama-sama kita cintai. Ia perlu didorong agar
mengembangkan sikap-sikap baik seperti tidak mementingkan diri sendiri, pemurah,
dan penuh perhatian.
2.
Menurut
Heribertus Gunawan, anak yang egois hanya peduli dengan
dirinya sendiri, hanya berfokus pada kesejahteraan dirinya sendiri tanpa peduli
orang lain. Anak usia prasekolah umumnya masih egosentris karena dunianya masih
terpusat pada dirinya sendiri, karena merasa dirinya dan dunia sekitarnya
adalah satu.
3.
Dra.
Risa Kolopaking, psikolog dari RSIA Hermina Bekasi
menjelaskan bahwa anak balita dikatakan memiliki sikap egois yang tinggi karena
setiap kegiatan yang dilakukan masih terpusat pada dirinya sendiri. Sifat
individunya masih sangat dominan. Ini terlihat dari cara dia yang selalu
mendahulukan dirinya. Begitu juga kalau ingin sesuatu dan tak dituruti, anak
akan menangis. Itu yang membuatnya disebut egois. Padahal, anak sendiri
sebenarnya masih belum paham, perbuatannya disukai atau tidak oleh orang lain.
B.
Jenis-jenis Egoisme
1. Egoisme
Psikologis
1.1. Pendapat
pokok faham egoisme psikologis:
Egoisme psikologis pada pokoknya berpendapat bahwa kodrat manusia dalam kenyataannya
secara psikologis cenderung memilih tindakan yang menguntungkan bagi dirinya
sendiri. Menurut faham ini, apa yang disebut sebagai sikap altruis (misalnya, sikap mau mencintai dan berkorban diri demi kepentingan orang lain)
hanyalah mitos belaka. Kalau dalam praktek kehidupan sehari-hari nampaknya, hal
itu memang hanya nampaknya saja demikian. Sebab apabila orang mau meneliti apa
motivasi sesungguhnya yang mendorong dilakukan tindakan itu, akan menjadi nyata
bahwa tindakan altruis itu tidak lain hanyalah bentuk terselubung dari cinta
diri.
1.2. Argumentasi untuk menolak
kemungkinan adanya sikap altruis sungguh-sungguh:
1.2.1. Setiap
tindakan yang dilakukan dengan bebas pada dasarnya muncul dari pilihan
pelakunya untuk melakukan sesuatu yang paling ia ingini untuk dilakukan.
Misalnya seorang yang menyumbangkan uangnya ke proyek sosial pengumpulan dana
bagi para korban gempa bumi tidak dapat dikatakan bahwa ia bersikap altruis,
sedangkan yang memakainya untuk menonton film bersikap egois. Karena pada
keduanya, si pelaku hanyalah melakukan apa yang masing-masing memang paling
mereka ingin lakukan. Yang satu justru merasa senang dan bahagia kalau dia
dapat menyumbangkan uangnya pada proyek sosial, sedangkan yang lain merasa
senang dan bahagia kalau dapat melakasanakan apa yang ia inginkan, dan dalam
hal ini yang ia inginkan adalah menonton film. Jadi kedua-duanya sebenarnya mencari
apa yang menguntungkan untuk dirinya sendiri.
1.2.2. Suatu
tindakan hanya nampaknya saja tidak bersifat egois atau altruis. Kalau motivasi
sesungguhnya dapat diketahui, maka akan menjadi nyata bahwa tindakan itu
sebenarnya didasari oleh cinta diri. Misalnya orang yang menyumbangkan uangnya
ke proyek sosial tadi, setelah melakukan apa yang ingin dia lakukan, ia merasa
senang dan puas dan kemudian dapat tidur dengan pulas di waktu malam karena
merasa telah menunaikan tugasnya dengan baik. Sedangkan kalau ia tidak
menyumbangkan uangnya pada proyek sosial, maka hatinuraninya terus merasa
terganggu. Jadi dalam melakukan pemberian dana itu sebenarnya ia mempunyai
pamrih pribadi.
1.2.3. Untuk
menjelaskan pendapat di atas, Thomas Hobbes (1588-1679) dan kemudian
dikembangkan oleh Moritz Schlick (1881-1936) mengajukan pendapat bahwa untuk
menilai suatu tindakan, orang perlu menemukan motivasi sesungguhnya dari
tindakan tersebut, dan untuk ini orang perlu tidak hanya berhenti pada
penafsiran yang dangkal. Menyebut suatu tindakan sebagai ungkapan sikap altruis
menurut dia merupakan suatu penafsiran yang terlalu dangkal terhadap kejadian
yang sesungguhnya.Kalau orang mau mengakui kenyataan, motivasi yang
sesungguhnya selalu mengandung unsur cinta diri. Sebagai contoh misalnya apa
yang disebut cintakasih. Motivasi yang sesungguhnya di balik tindakan
menolong orang lain adalah mau menunjukkan bahwa dirinya lebih baik dari yang
lain, lebih mampu, lebih unggul dari yang ditolong. Dalam tindakan berbelaskasih,
alasan yang sebenarnya mengapa kita mempunyai rasa belaskasih terhadap sesama
manusia yang menderita adalah karena kita sendiri berharap agar kalau kita
berada dalam situsai macam itu orang lain pun berbelaskasih atau mau menolong
kita. Pada orang yang berbelaskasih ada kekhawatiran jangan-jangan penderitaan
atau kemalangan yang sama nanti suatu ketika juga menimpa dirinya.
1.3. Tanggapan kritis:
Seperti pernah
secara cukup jeli dikemukakan oleh James Rachels, argumentasi yang mendasari
faham egoisme psikologis sepintas nampak sulit dibantah, namun argumentasinya
sebenarnya muncul karena beberapa kerancuan pengertian.Kalau kerancuan tersebut
dapat diurai, menjadi jelas bahwa argumentasi mereka yang menganut egoisme
psikologis tidak dapat dipertahankan.Sekurang-kurangnya terkandung tiga jenis
kerancuan pengertian dalam argumentasi yang dikemukakan oleh para penganut dan
penganjur egoisme psikologis.Kerancuan yang pertama adalah kerancuan pengertian
antara egoisme dalam arti mendahulukan kepentingan diri sendiri (selfishness)
dan egoisme dalam arti berguna untuk diri sendiri (self-interest).Keduanya
tidak sama. Kalau saya mematuhi hukum yang berlaku atau bekerja keras di kantor,
ini tidak dapat dikatakan bahwa saya egois dalam arti hanya mendahulukan
kepentingan diri saya sendiri.Perbuatan itu memang pada dasarnya berguna (atau
mungkin lebih tepat bernilai) untuk diri saya sendiri.Arti yang kedua
ini sebenarnya tidak tepat untuk disebut egois. Dalam pengertian egois
sebenarnya selalu terkandung penilaian negatif bahwa si pelaku tidak
mempedulikan kepentingan orang lain dan hanya mementingkan dirinya sendiri
melulu.
Kerancuan yang
kedua adalah kerancuan antara pengertian perilaku yang mengejar kepentingan
diri (self-interested behavior) dan perilaku yang disukai, karena memberi
nikmat (the pursuit of pleasure).Dalam kehidupan sehari-hari banyak hal
seringkali kita lakukan memang karena kita menyukainya.Tetapi kenyataan bahwa
kita melakukan suatu perbuatan karena kita menyukainya, atau bahwa perbuatan
itu membawa kenikmatan tersendiri bagi kita, tidak dengan sendirinya dapat
dikatakan bahwa perbuatan kita itu muncul berdasarkan motif egoisme, dalam arti
hanya mengejar kepentingan diri sendiri.Kalau ada orangyang suka menghisap
rokok kretek dalam-dalam setelah makan siang, karena hal itu terasa nikmat
untuknya, kita tidak dapat mengatakan bahwa perbuatan orang itu dengan
sendirinya bermotifkan egoisme.Baru kalau dalam menghisap rokok tersebut ia
sama sekali tidak peduli akan keluhan tetangganya yang sedang sakit flu, maka
perbuatan itu dapat dikatakan sebagai perbuatan yang egois.
Kerancuan yang
ketiga adalah kerancuan pengertian bahwa suatu perhatian akan kepentingan diri
sendiri selalu tidak dapat diselaraskan dengan kepentingan sejati dari orang
lain. Karena sudah jelas bahwa setiap orang (atau hampir setiap orang) selalu
memperhatikan apa yang menjadi kepentingannya, para penganut egoisme psikologis
menarik kesimpulan bahwa setiap orang itu egois dan tidak pernah secara
sungguh-sungguh memperhatikan kepentingan orang lain.Anggapan ini tentu saja
keliru. Pengejaran kepentingan diri sendiri tidak dengan sendirinya bertabrakan
dengan kepentingan orang lain. Memang tidak jarang terjadi bahwa timbul
tabrakan antara kepentingan diri kita sendiri dengan kepentingan orang lain.
Tetapi hal ini tidak selalu terjadi, dan kalau itu terjadi, tidak dengan
sendirinya pula bahwa kita mendahulukan kepentingan diri kita sendiri seraya
mengorbankan kepentingan orang lain. Kenyataan bahwa ada orang yang secara
tulus berkorban untuk orang lain, seperti seorang ibu bagi anaknya, seorang
gadis bagi pemuda idamannya, dsb., membuktikan bahwa dalam berbuat, orang pada
dasarnya secara psikologis tidak selalu didorong oleh egoisme.
Dalam usaha
untuk menemukan faktor pokok yang menentukan tindakan manusia, para penganut
egoisme psikologis melupakan bahwa motivasi tindakan manusia itu dapat bersifat
kompleks.Menyatakan bahwa semua tindakan manusia pada dasarnya didorong oleh
motivasi egois merupakan suatu penyederhanaan yang mengabaikan kompleksitas
tersebut.Pernyataan yang bersifat reduksionistik (terlalu menyederhanakan) itu
juga mengungkapkan sikap yang terlalu sinis terhadap perbuatan baik orang.
Dengan alasan menekankan kejujuran untuk mengakui apa yang sesungguh-nyamenjadi
motivasi seseorang untuk bertindak, lalu secara sinis terlalu cepat curiga akan
maksud baik orang lain.
2. Egoisme Etis
2.1. Pendapat pokok faham egoisme
etis:
Egoisme etis
adalah suatu faham etika normatif yang menyatakan bahwa setiap orang wajib
memilih tindakan yang paling menguntungkan bagi dirinya sendiri. Dengan kata
lain, menurut faham ini, tindakan yang baik dan dengan demikian wajib diambil
adalah tindakan yang menguntungkan bagi diri sendiri. Satu-satunya kewajiban
manusia adalah mengusahakan agar kepentingannya sendiri dapat terjamin. Ini
tidak berarti bahwa kepentingan orang lain harus senantiasa diabaikan. Karena,
bisa jadi demi pencapaian hasil yang paling menguntungkan untuk diri sendiri,
orang justru perlu mengindahkan kepentingan orang lain. Namun dalam hal ini
kenyataan bahwa tindakan itu membawa keuntungan atau kebaikan untuk orang lain
bukanlah hal yang membuat tindakan tersebut benar. Yang membuat tindakan itu
benar adalah fakta bahwa tindakan itu menunjang usaha untuk memperoleh apa yang
paling menguntungkan bagi dirinya.Faham ini juga tidak bermaksud menganjurkan
untuk mencari nikmat pribadi sepuas-puasnya, seperti halnya diajarkan oleh
faham Hedonisme. Justru dalam banyak hal faham Egoisme Etis melarang
pencarian nikmat pribadi, karena hal itu dalam jangka panjang justru tidak
menguntungkan. Yang dianjurkan oleh Egoisme Etis adalah agar setiap orang
melakukan apa yang sesungguhnya dalam jangka panjang akan menguntungkan untuk
dirinya (“A person ought to do what really
is to his or her own best advantage, over the long run.”) Egoisme Etis memang menganjurkan “selfishness”
tetapi bukan “foolishness”.
2.2. Argumen-argumen untuk
mendukung Egoisme Etis:
Argumen pertama
yang biasanya dipakai untuk mendukung Egoisme Etis adalah kenyataan bahwa kalau
kita mau mengusahakan hal-hal yang menguntungkan semua pihak, masing-masing
orang justru wajib memperhatikan kepentingannya sendiri. Karena yang paling
tahu tentang apa yang paling dibutuhkan oleh seseorang adalah orang itu
sendiri, dan bukan orang lain. Kalau kita cenderung mau mengurusi orang lain,
dapat terjadi bahwa kita justru tidak menguntungkan semua pihak.
Seperti
dinyatakan oleh Robert G. Olson dalam bukunya The Morality of Self-Interest
(1968), “The individual is most likely to contribute to social betterment by
rationally pursuing his own best long-range interests” (“Masing-masing
individu akan paling menyumbang pada perbaikan sosial [kalau masing-masing individu]
dengan secara rasional mengejar apa yang dalam jangka panjang menjadi
kepentingannya sendiri yang paling baik”). Masing-masing orang sendiri lah yang
paling tahu akan apa yang diinginkan dan dibutuhkannya. Kita tidak pernah tahu persis apa yang diinginkan dan dibutuhkan orang
lain. Kalau kita mencampuri urusan orang lain, campurtangan ini justru malah
hanya merusak kesejahteraannya, karena bersifat ofensif bagi kebebasannya untuk
menentukan diri. Mencampuri urusan orang lain dapat melanggar prinsip “privacy”
seseorang. Menjadikan orang lain sebagai objek atau sasaran perbuatan karitatif
kita, sama saja dengan merendahkan martabatnya. Dengan memperhatikan
kepentingan orang lain, kita dapat menciptakan situasi ketergantungan dan
kurang menghargai kemampuan serta harga diri orang yang ditolong.
Argumen yang kedua mendasarkan diri pada keunggulan Egoisme Etis
dibandingkan dengan Etika Altruis dalam menjunjung tinggi nilai hidup
masing-masing individu. Seperti dinyatakan oleh Ayn Rand (dalam bukunya The
Virtues of Selfishness), Egoisme Etis merupakan satu-satunya filsafat moral
yang menghormati integritas kehidupan masing-masing individu. Menurut dia,
Etika Altruis bersifat merusak nilai hidup manusia sebagai individu di dunia
ini. Etika Altruis yang cenderung mengatakan pada setiap orang “hidupmu
hanyalah sesuatu yang bersifat sementara dan pantas dikorbankan,” dapat
dikatakan cenderung menolak nilai diri pribadi manusia. Perhatian pokok kaum altruis bukan bagaimana dapat hidup sepenuh-penuhnya
di dunia ini, tetapi bagaimana mati suci (bagaimana mengorbankan hidup ini)
bagi orang lain. Perhatian pokok macam ini dapat membuat orang kurang
menghargai dan memperkembangkan hidupnya semaksimal mungkin.
Argumen
tersebut kalau mau dirumuskan secara singkat akan berbunyi sebagai berikut:
(1) Setiap pribadi manusia hanya memiliki satu hidup untuk dihayati. Kalau
kita memandang setiap individu bernilai sungguh-sungguh, atau kalau setiap
individu secara moral bernilai dalam dirinya sendiri, maka kita mesti
menyetujui bahwa hidup kita yang satu ini amatlah penting untuk dipertahankan
dan dikembangkan sepenuhnya.
(2) Etika Altruis memandang hidup masing-masing individu sebagai suatu yang
bila perlu mesti direlakan untuk dikorbankan bagi orang lain.
(3) Maka Etika Altruis tidak menganggap serius nilai hidup masing-masing
individu manusia.
(4) Sedangkan, Egoisme Etis, yang memperkenankan setiap pribadi manusia
memandang hidupnya sendiri sebagai bernilai paling tinggi, sungguh mengambil
serius nilai hidup masing -masing individu manusia; bahkan Egoisme Etis dapat
dika-takan merupakan satu-satunya teori moral yang melakukan hal itu.
(5) Maka Egoisme Etis merupakan teori moral yang wajib diterima.
Argumen yang
ketiga yang biasanya dipakai untuk mendukung teori moral Egoisme Etis adalah
kemampuannya untuk secara jelas dan sederhana memberikan satu prinsip dasar
untuk menjelas-kan macam-macam aturan dan pedoman perilaku manusia sehari-hari.
Di balik macam-macam aturan yang mengikat manusia dalam hidupnya sehari-hari,
seperti: tidak boleh menyakiti orang lain, wajib mengatakan yang benar, wajib
menepati janji, dsb., menurut Egoisme Etis, ada satu prinsip dasar, yakni
prinsip mengejar kepentingan diri sendiri. Aturan-aturan tersebut dapat
diterangkan berdasarkan prinsip mengejar kepentingan diri sendiri. Mengapa kita
tidak boleh menyakiti orang lain, misalnya, dapat dijelaskan demikian: apabila
kita biasa menyakiti orang lain, maka orang lain pun tidak akan segan-segan
atau ragu-ragu untuk menyakiti kita. Kalau kita
menyakiti orang lain, orang itu akan melawan dan membalas. Dapat terjadi pula
bahwa karena kita menyakiti orang lain, kita akan dihukum dan dimasukkan
penjara karenanya. Dengan menyakiti orang lain, akhirnya kita sendiri akan
rugi. Maka pada dasarnya merupakan keuntungan bagi diri kita sendiri apabila
kita tidak menyakiti orang lain. Logika pemikiran yang sama dapat dipakai untuk
menjelaskan aturan-aturan lain yang wajib kita patuhi setiap hari.
2.3. Tanggapan Kritis:
Kalau kita
perhatikan argumen pertama di atas secara kritis, maka akan nampak bahwa
argumen tersebut sebenarnya tidak mendukung prinsip egoisme etis. Mengapa
demikian? Alasan pokok yang diberikan dalam argumen pertama untuk mendukung
Egoisme Etis adalah bahwa kalau setiap orang mengejar apa yang dalam jangka
panjang menjadi kepentingannya sendiri yang paling baik, maka perbaikan sosial
atau terpenuhinya kepentingan semua pihak justru akan terjamin, karena
masing-masing individu lah yang paling tahu apa yang dia butuhkan. Kalau
Egoisme Etis sungguh konsisten dengan prinsipnya, maka ia tidak perlu peduli
akan perbaikan sosial atau keterjaminan bahwa kepentingan semua pihak akan
lebih terpenuhi. Kenyataan bahwa dalam argumen pertama hal tersebut dipedulikan
dan bahkan dijadikan alasan untuk bersikap egoistik, maka walaupun Egoisme Etis
menganjurkan untuk berperilaku egoistik, prinsip dasariah yang melandasinya
justru tidak egoistik.
Dalam
argumentasi kedua, Egoisme Etis nampaknya keluar sebagai teori moral yang lebih
baik atau lebih masuk akal daripada Etika Altruis. Akan tetapi hal itu terjadi
karena faham Etika Altruis digambarkan sedemikian ekstrim, sehingga tidak
sesuai dengan apa yang sesungguhnya diajarkan olehnya. Dalam argumen tersebut
diberi kesan bahwa Etika Altruis itu mengajarkan bahwa kepentingan diri sendiri
itu sama sekali tidak bernilai dibandingkan dengan kepentingan orang
lain, sehingga setiap tuntutan untuk mengorbannkannya demi kepentingan
orang lain wajib dipenuhi.
Akan tetapi
gambaran tentang Etika Altruis, sebagaimana diberikan oleh Ayn Rand sebagai
penganjur Egoisme Etis, itu tidak fair, karena yang diajarkan oleh Etika
Altruis tidak seekstrim dalam gambaran tersebut. Yang diajarkan oleh Etika
Altruis adalah bahwa meskipun hidup masing-masing individu di dunia ini
merupakan suatu yang amat bernilai, namun bukanlah satu-satunya nilai dan juga
bukan nilai yang mutlak. Usaha mencapai kebagiaan hidup sejati manusia tidak
lepas dari perlunya bersikap baik terhadap orang lain dan kerelaan untuk
berkorban bagi manusia lain. Kalau hal tersebut sasamasekali diabaikan, karena
nilai hidup masing-masing individu di dunia ini dimutlakkan, maka kebahagiaan
sejati manusia justru tidak akan tercapai. Demikianlah, dengan terlalu memutlakkan
nilai hidup masing-masing individu manusia, Egoisme Etis justru akan
menggagalkan usahanya sendiri untuk mengejar apa yang paling menunjang bagi
terpenuhinya kepentingan diri yang sejati.
Berkenaan
dengan argumentasi ketiga, argumen ini pun tidak berhasil menegakkan Egoisme
Etis sebagai teori moral normatif yang dapat dan perlu diterima. Argumen
tersebut hanya mampu menunjukkan bahwa sebagai pedoman umum dapat
dikatakan bahwa memang lebih menguntungkan bagi diri sendiri untuk melaksanakan
kewajiban dan tidak melanggar larangan sebagaimana diatur dalam pedoman
perilaku sehari-hari. Berusaha untuk tidak menyakiti orang lain memang pada
umumnya lebih menguntungkan untuk diri sendiri. Tetapi hal ini tidak
selalu demikian. Kadang-kadang dalam praktek orang lebih beruntung kalau
dapat menyakiti orang lain terlebih dulu daripada disakiti olehnya. Maka
kewajiban untuk tidak menyakiti orang lain dan kewajiban-kewajiban moral yang
lain tidak dapat diturunkan dari prinsip egoistik untuk mencari apa yang paling
menguntungkan untuk diri sendiri.
Selain itu,
seandainya benar bahwa dengan mendermakan uangnya kepada orang miskin pada
akhirnya diri sendirilah yang diuntungkan, kiranya tidak dapat ditarik
kesimpulan bahwa keuntungan diri sendirilah yang menjadi motif pokok tindakan
mendermakan uang kepada orang miskin. Yang seringkali terjadi adalah bahwa
motif pokok tindakan tersebut memang kepentingan orang yang ditolong, sedangkan
untuk diri sendiri itu hanyalah sekunder atau merupakan akibat samping dari
tindakan mau menolong orang lain tersebut. Seandainya betul bahwa semua
tindakan altruistik itu bermotifkan kepentingan egoistik, maka hidup sosial
manusia akan menjadi lebih sulit, karena dipenuhi rasa kecurigaan. Setiap
perbuatan baik akan selalu ditanggapi dengan sikap sinis, karena toh bukan kepentingan
orang yang ditolong yang menjadi fokus perhatian, tetapi diri sendiri. Orang
yang mendapatkan pertolongan sulit untuk berterima kasih, karena melulu hanya
dijadikan sarana saja bagi pemenuhan kepentingan diri si penolong saja.
Egoisme Etis
biasanya mendasarkan diri pada apa yang dikemukakan oleh Egoisme Psikologis.
Tetapi kita sudah lihat di atas, bahwa pendapat pokok Egoisme Psikologis tidak
dapat dipertahankan. Sebagaimana Egoisme Psikologis, Egoisme Etis meredusir
kompleksitas motivasi tindakan manusia pada motif mencari apa yang
menguntungkan bagi diri sendiri. Tetapi ini tidak sesuai dengan kenyataan.
Bahwasanya Egoisme Etis dapat menjelaskan kewajiban moral atas dasar prinsip
kepentingan diri atau motif mencari apa yang menguntungkan bagi diri sendiri,
belumlah merupakan bukti bahwa kepentingan diri merupakan satu-satunya dasar
bagi kewajiban moral. Hanya kalau dapat dibuktikan bahwa kepentingan diri
merupakan satu-satunya dasar bagi kewajiban moral, maka Egoisme Etis
sebagai suatu teori moral normatif tidak dapat diterima.
C. Ciri-ciri Perilaku Egois
Pada
anak usia prasekolah perilaku egois bila sekali-sekali muncul masih dapat
dikatakan wajar, tetapi bila dilakukan dalam frekuensi dan intensitas yang tinggi
digolongkan pada perilaku bermasalah. Ciri-ciri perilaku egois yang melebihi
batas normal/bermasalah diantaranya adalah sebagai berikut :
•
Anak kurang mampu mengontrol diri/emosi, cenderung agresif;
•
Harga diri dan empati kurang berkembang;
•
Memiliki sikap penuntut;
•
Kualitas hubungan sosialnya buruk, sulit menjalin relasi dengan anak lain;
•
Memandang orang lain secara negatif;
•
Sering merebut mainan / barang yang dipegang oleh temannya;
•
Enggan untuk berbagi kesenangan, mainan, atau makanan dengan orang lain;
•
Suka merajuk atau menangis / merengek-rengek jika keinginannya tidak segera
dituruti.
D. Penyebab Sifat Egois Pada Anak
Penyebab
perilaku egois biasanya karena perlakuan dan pola asuh orang tua/pengasuh yang
tidak tepat (misalnya kasih sayang orang tua yang berlebihan atau kurang, sikap
orang tua yang permisif, tidak menanamkan disiplin, moral dan tanggung jawab
yang diperlukan anak sebagai pengarah dalam berperilaku). Sifat egois bukanlah
sifat bawaan atau keturunan, tapi masalah pembiasaan. Perkembangan sosial
seorang anak dipengaruhi oleh lingkungannya, baik dari orang tua maupun
orang-orang di sekitarnya. Berikut beberapa faktor mengapa anak bersifat egois
:
•
Perhatian yang berlebihan.
Pemujaan
kepada anak secara berlebihan membuat orang tua memanjakan anak dengan cara
memenuhi segala keinginannya. Sehingga anak terbiasa mendapatkan apapun tanpa
usaha dan perjuangan terlebih dahulu. Anak juga tidak terbiasa mengembangkan
rasa toleransi dan sabar kepada orang lain. Anak tidak diajari untuk menunda
kepuasan atau mendapatkan sesuatu sebagai hadiah dari usaha yang keras.
Kemudahan mendapatkan sesuatu tanpa perlu usaha membuat anak mengambil
kesimpulan bahwa ia bisa mendapatkan apapun yang dia inginkan dengan mudah saat
itu juga.
•
Perlindungan yang berlebihan.
Dalam
menunjukkan rasa sayang kepada anak, seringkali orang tua memberi perlindungan
yang berlebih dari berbagai macam kegagalan dan kesalahan. Rasa kekhawatiran
yang mendalam juga membuat orangtua menghindarkan anak mereka dari
pekerjaan-pekerjaan yang sebenarnya bisa dilakukan anak seusianya. Karena
khawatir baju anak kotor, orang tua menyuruh pembantu untuk selalu menyuapi
makan. Karena khawatir diganggu teman di taman, orang tua menyuruh pengasuh
untuk selalu berada di dekat sang anak dan siap melayani. Maka anak akan
terbiasa menyuruh-nyuruh orang seperti yang telah dicontohkan orang tuanya,
bahkan untuk pekerjaan-pekerjaan sederhana yang sebenarnya bisa dia lakukan.
•
Anak yang mempunyai kebutuhan-kebutuhan khusus (misalnya anak yang sering
sakit-sakitan), sering kali mendapatkan perhatian khusus. Jika tidak hati-hati
anak seperti ini bisa tumbuh menjadi anak yang egois, karena dia menganggap
semua harus dipusatkan pada dia. Itulah sebabnya salah satu ciri juga anak-anak
yang egois adalah dia menganggap diri sebagai kasus khusus, artinya
keinginannya harus didahulukan sebab dia merupakan kasus perkecualian.
E.
Karakteristik yang Dimiliki
Orang Egois
- Keras kepala
Orang yang egois biasanya mau menang sendiri dan tidak
mau mendengarkan pendapat orang lain. Karena bagi dia, hanya pendapatnya yang
paling benar dan harus diikuti sama orang lain. Terkadang saking keras kepalanya,
meskipun sudah terbukti pendapatnya salah, orang egoisn tetap tidak mau
mengakuinya.
- Mudah Emosi
Orang yang punya sifat egois mudah sekali naik darah,
terutama saat keinginannya tidak bisa tercapai. Bahkan orang egois bisa marah
besar hanya gara-gara hal sepele seperti tidak diperhatikan saat dia lagi
bicara atau melakukan sesuatu.
- Pemberontak
Umumnya orang yang memiliki sifat egois itu susah sekali
diatur sama orang lain. Dan saat punya kemauan yang besar, dia tidak akan
segan-segan untuk melanggar semua peraturan yang ada demi mencapai tujuannya.
- Haus Perhatian
Sebagai orang yang over self centered, orang
egois pasti ingin selalu diperhatikan sama otrang lain. Dan dia tidak cukup puas dengan perhatian yang
biasa-biasa saja, dia ingin setiap saat semua orang hanya fokus melihat ke arah
dirinya saja.Intinya orang yang egois adalah orang yang selalu mementingkan
dirinya sendiri, selalu ingin dinomersatukan dan menganggap dirinya yang paling
berharga. Tipe orang yang kelihatannya tidak peduli sama perasaan orang lain,
asalkan keinginanya bisa terpenuhi. Makanya tudak heran kalau terkadang orang
egois terlihat seperti kurang ”manusiawi” dalam memperlakukan orang lain.
Demikian sekilas tentang Egoisme-Makalah Psikologi. Semoga bermanfaat.
Oleh : Dian Pranata
Tidak ada komentar:
Posting Komentar